Suatu pertanyaan bisa kita
munculkan tentang reaksi sebagian umat Islam terhadap gerakan amar makruf nahi
munkar yang dilakukan oleh umat Islam lainnya : mengapa mereka begitu sensitif
menolak adanya bagian-bagian dari internal Islam yang berusaha mengajak kepada
kebaikan dan berjuang menolak kemungkaran yang ditemukan dilingkungan sekitar.
Sebenarnya secara umum tidak ada seorangpun yang mempermasalahkan tindakan
‘amar makruf’nya – mengajak kepada kebaikan – karena hal tersebut sama sekali
tidak akan mengganggu pihak yang dituju, orang lain tentu saja dipersilahkan
datang untuk mengajak kita kepada kebaikan, dan kita sendiri punya kebebasan
untuk menerimanya atau mengabaikannya. Masalahnya muncul ketika tindakan
tersebut berbentuk ‘nahi munkar’ – mencegah kemungkaran. Disini terjadi
benturan dengan hak individu, hak azazi manusia, dan segala macam hak-hak yang
lainnya. Kemungkaran dalam ajaran Islam tidak hanya berbentuk suatu perbuatan
yang merugikan orang lain, misalnya seperti perampokan dan pencurian, penipuan,
korupsi, dll, tapi juga dalam bentuknya yang merugikan diri sendiri, misalnya
seorang Muslim yang tidak mengerjakan ibadah wajib seperti shalat, puasa,
zakat, atau juga perbuatan dosa yang tidak merugikan pihak lain, mabuk alkohol,
berzina. Semua bentuk kemungkaran tersebut merupakan tindakan yang wajib
diberantas dan diluruskan oleh setiap Muslim, karena kalau terjadi kelalaian
dan pembiaran maka umat Islam yang ada disekitar akan ikut menerima getahnya di
akhirat kelak, sekalipun dia seorang Muslim yang rajin beribadah dan selalu
berbuat baik. Mana dalilnya yang mengatakan demikian..?? semua orang Islam
pasti hapal dengan ayat ini :
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran. (al-Asr 1-3)
Kerugian yang kita alami tidak cukup
hanya diselesaikan dengan beriman dan beramal saleh saja. Kewajiban berikut
memiliki 2 arah, ketika kita diharuskan untuk saling menasehati agar mentaati
kebenaran, maka itu adalah bentuk perintah kepada seorang Muslim untuk berbuat
kepada orang lain, dan ketika dikatakan saling menasehati dalam kesabaran maka
itu perintah yang ditujukan bagi diri sendiri dalam menjalankan perintah yang
pertama. Kesabaran memang dibutuhkan melakukan amar makruf nahi munkar karena
kemungkinan besar terjadi penolakan dan konflik.
Kalau dicermati, dasar yang menjadi penolakan pihak yang tidak
setuju dengan tindakan nahi munkar memang terlihat masuk akal.Pertama,
urusan berbuat dosa merupakan urusan pribadi seseorang dengan Tuhan, sepanjang
tidak menimbulkan kerugian buat pihak lain, apa hak anda untuk mencegah
saya..?? Kedua, Anda mau
mencegah saya berbuat dosa..? apa anda sudah bersih dari dosa, apa anda ini
malaikat, apa anda bukan orang yang juga melakukan dosa sama seperti saya..??
Uruslah diri sendiri sebelum mengurus orang lain…
Pernyataan seperti ini muncul karena sebagian umat Islam mengikuti
kerangka berpikir yang datang dari nilai-nilai diluar Islam, adanya hak
individu yang tidak bisa diganggu-gugat orang lain, termasuk dalam urusan
berbuat dosa. Setiap manusia bertanggung-jawab terhadap dirinya sendiri, maka
sepanjang perbuatannya tidak merusak dan mengganggu orang lain, tidak ada
satupun pihak yang diberi wewenang untuk mencegahnya kecuali diri sendiri.
Orang lain silahkan saja memberi nasehat dan masukan ke arah kebaikan, namun
kekuasaan untuk menentukan apakah kemungkaran tersebut diteruskan atau
dihentikan ada pada pihak yang bersangkutan. Paradigma tersebut menempatkan
nilai-nilai sosial yang diajarkan agama dimasukan ke wilayah pribadi. Islam
tidak mengajarkan demikian. Tentu saja soal pertanggung-jawaban dosa merupakan
urusan sendiri-sendiri dihadapan Allah, namun pihak lain juga punya
tanggung-jawab sosial untuk mencegah dosa yang dilakukan individu lain. Dosa
yang ditanggung bukan berasal dari perbuatan orang tersebut, tapi berasal dari
sikap yang tidak menjalankan kewajiban sosialnya mencegah kemungkaran. Kalau
anda mengakui diri sebagai pengikut Islam, maka memang kewajiban tersebutlah
yang mesti anda ikuti.
Lalu tentang setiap orang tidak bersih dari dosa. Ayat tersebut
memakai kata ‘tawaashau’ yang menunjukkan suatu perbuatan timbal-balik sehingga
diartikan : saling mewasiatkan, saling menasehati. Ini menunjukkan bahwa pihak
yang melakukan pencegahan terhadap kemungkaran memang diakui bukan sebagai
orang yang bebas dari dosa, atau menganggap dirinya malaikat, karena dia juga
berposisi sebagai pihak yang terkena tindakan tersebut. Artinya ketika anda
didatangi orang lain yang menghadang perbuatan kemungkaran yang anda lakukan,
maka anda juga punya kewajiban yang sama, mencegah orang lain tersebut ketika
dia melakukan kemungkaran, kewajiban ada pada kedua belah pihak. Jadi tidak
benar kalau dikatakan dalam dunia Islam ada pihak yang berperan sebagai polisi
dan ada pihak lain sebagai penjahat. Anda digrebek FPI karena berbuat maksiat,
maka anda juga memiliki kewajiban untuk menggerebek FPI ketika mereka melakukan
kemungkaran. Anda takut karena FPI lebih galak dan lebih kuat..?? cari teman
lain yang lebih galak dan lebih kuat dari FPI. Setiap perbuatan yang dilandasi
kemaksiatan akan membuat si pelakunya lemah, itu sudah hukum alam..
Sekarang kita bisa tanya diri sendiri :”Mengapa saya sampai
memakai nilai-nilai yang bukan berasal dari kerangka berpikir Islam
tersebut..?? Mengapa saya tidak sudi pihak lain mengganggu urusan pribadi saya
dalam berbuat dosa..?? Mengapa saya sampai mengatakan pihak lain yang berusaha
mencegah kemungkaran sebagai orang yang sok suci dan sok jadi malaikat..??”.
Menurut saya, prinsip tersebut anda pegang karena anda memang ingin melakukan
perbuatan dosa dengan ‘nyaman’ dan leluasa tanpa gangguan dari lingkungan anda.
Anda adalah orang yang ‘bermental baja’, tidak takut dengan siksaan Allah yang
akan anda terima kelak di akhirat, padahal itu pasti anda terima. Tidak bisa
lain, sikap tersebut muncul karena anda bukanlah termasuk orang yang bertaqwa.
Kalau anda termasuk orang yang bertaqwa kepada Allah dan yakin terhadap hari
akhirat, maka seharusnya anda malah mengundang pihak lain untuk meluruskan dan
mencegah perbuatan maksiat dan kemungkaran yang mungkin anda lakukan, anda akan
memanfaatkan pihak lain tersebut untuk menjaga diri anda agar tidak tersesat.
Bukankah dalam pembukaan surat al-Baqarah, Allah menyampaikan ciri-ciri orang
yang bertaqwa, yaitu : ..serta
mereka yakin akan adanya hari akhirat – wabil aakhiraati hum yuuqinuun..
EmoticonEmoticon