ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪ
setiap baca kisah ini, pasti berderai air mataku,,,jujur aku gak akan bisa setegar ikhma,,, :( :(
KISAH MENGHARUKAN SEORANG ISTRI YANG DIMADU
Cerita ini adalah kisah nyata dari sahabatnya
sahabatku, yang tidak ingin disebutkan nama
aslinya. Ia memintaku untuk menuliskan
perjalanan cintanya dalam sebuah cerita. Semoga
ini juga menjadi pembelajaran untuk kita semua
dan bisa memetik hikmah dari sebuah peristiwa,
walau pengalaman yang datang dari orang lain.
Cinta adalah sesuatu yang lembut dan halus.
Mencintai dan dicintai adalah keinginan setiap
orang, karena dengan saling mencintailah
kebahagian itu akan tercipta. Mencintai tapi tak
dicintai, adalah hal yang wajar karena cinta
adalah perasaan yang tidak bisa dipaksa.
kebahagiaan tak akan terasa ada jika terjalin dari
keterpaksaan.
Tapi, bagaimana jika dua insan saling mencintai
tetapi salah satunya tersakiti? Masihkah itu bisa
disebut dengan cinta? Silahkan anda temukan
jawabannya dalam kisah cinta di bawah ini. …
selamat membaca ….
Kisah cinta ini berawal ketika aku mengenalnya
lewat memori hujan di sudut kota Palangkaraya,
Kalimantan Tengah. Setelah pulang kerja, aku
terdesak untuk mengikuti mata pelajaran
tambahan di kampus. Tetapi naas, motor yang
kukendarai dengan kecepatan tinggi jatuh
terhempas di jalanan membuatku tak sadarkan
diri. Entah bagaimana akhirnya, wanita itu
membawaku ke rumah sakit terdekat.
Tiga hari aku dirawat di sana, dia lah yang
menjagaku, karena aku sebatang kara di kota itu.
Keluargaku ada di kota sebelah, orang tuaku asli
warga Banjarmasin dan menetap di sana.
Sementara, aku kuliah di Palangkaraya sebagai
anak kost dan bekerja di Pall Mall sebagai kasir.
Meskipun sebenarnya aku anak orang berada,
tetapi aku lebih memilih hidup mandiri. Kuliah
dari hasil pekerjaanku sendiri serta bantuan
beasiswa yang kuterima dari Universitas
Palangkaraya. Aku ingin jadi lelaki mandiri agar
kelak bisa berdiri tanpa bergantung pada orang
lain, terutama pada orang tuaku sendiri.
“Lize” nama wanita itu. Senyumnya menggetarkan
jiwaku. Wajahnya cantik, secantik hatinya. Satu
kata mulai terlahir dari hatiku yang mungkin
terlalu cepat. Aku jatuh cinta padanya, saat
pertama kali melihatnya. Gadis cantik itu
bernama, Lize Kristiani. Keturunan Chines yang
memilik wajah oriental suku Dayak Palangka.
Setelah kami saling berkenalan dan bertukar
nomer hp aku sangat terkejut, ternyata dia seorang
mahasiswi yang satu kampus denganku. Kondisiku
yang belum sembuh betul karena luka yang cukup
serius membentur tulang kakiku masih terasa
pedih kurasakan, membuatku harus dituntun
sampai ke dalam mobil. Lize, mengantarku sampai
tempat aku kost ke jalan Krakatau.
Mulai saat itu, aku selalu merasa berhutang budi
padanya.
Setiap hari, kami selalu pulang dan pergi ke
kampus bersama. Pertemanan kami berakhir
dengan berawalnya kisah cinta. Aku tak dapat
menghindari perasaan ini, semakin aku menjauh
darinya, semakin hatiku sakit.
Aku telah terpanah busur cintanya, walau sudah
beberapa kali kupikirkan untuk menjauhinya,
ternyata hanya membuat hatiku semakin terluka.
Akhirnya, kuputuskan untuk kuteruskan saja cinta
ini. Walau kutahu, aku telah salah memilih
tambatan hati. Aku seorang Muslim, dan dia
seorang Kristen.
Lize. Dia sangat mencintaiku, seperti itu pula
cintaku padanya. Cinta ini lahir begitu saja tulus
dari hati, sampai tak ada wanita lain yang bisa
menggeser posisinya di hatiku. Sekian lama
kebersamaanku dengannya, keluarganya pun turut
merestui hubungan kami.
Mereka juga tahu, kami dari agama yang berbeda.
Sudah hampir empat tahun cinta kami terjalin,
sudah lebih sepuluh kali aku membujuknya
memeluk agama Islam. Tapi, sudah sepuluh kali
juga tiap aku memintanya untuk meninggalkan
agamanya, dia malah memilih untuk memutuskan
jalinan cinta yang kami bina. Semua itu membuat
aku sangat terpukul.
Pernah satu kali dia memutuskan cinta, lalu
meninggalkanku seminggu ke Jakarta, hatiku
sungguh sangat terluka. “Padahal hanya seminggu”
Aku, seperti orang gila yang terlihat normal. Tak
ada satu orang pun yang bisa membuatku
tersenyum.
Teman-temanku yang berusaha menghiburku
dengan menghadirkan wanita lain di hadapanku
juga tak ada gunanya. Baru kusadari cintaku pada
Lize bukanlah cinta biasa.
Aku, kembali merasakan butir-butir kebahagiaan
setelah ia ada di hadapanku, datang membawakan
segelas lemon tea dan nasi rawon kesukaanku. Dia
tahu, aku selalu telat makan. Lize menyuapiku
tanpa bicara sepatah kata pun. Airmata mengalir
di pipiku meruntuhkan derajat kelelakianku, tapi
aku tak peduli itu. Aku pun memeluknya dengan
sangat erat dan meminta maaf padanya.
“Rifky, aku mencintaimu, tapi aku tak pernah
memaksamu untuk meninggalkan Tuhanmu”
matanya berkaca-kaca memandangi wajahku
dengan sendu.
“Maaf kan … aku … Ay … ( panggilan kesayanganku
untuknya) aku janji tidak akan mengulangi hal
bodoh ini lagi. Aku mencintaimu, kumohon jangan
pernah tinggalkan aku lagi.”
Kuliah selesai, dan kami pun mengadakan Wisuda.
Lize memintaku untuk segera melamarnya, aku
pun tak menolak untuk hidup bersamanya. Aku
pulang ke Banjarmasin dan berjanji akan kembali
datang untuk melamarnya, setelah mendapatkan
pekerjaan tetap.
Tetapi, masalah besar justru hadir setelah
kepulanganku. Cintaku ditentang keras oleh orang
tuaku. Ayah dan Ibuku ternyata telah menyiapkan
jodoh untukku, yaitu putri sahabat Ayah seorang
gadis muslimah dari Martapura, Kalimantan
Selatan.
Wanita salehah yang juga cantik rupanya itu
bernama, Ikhma. Aku tidak tertarik dengan wanita
keturunan gadis Banjar-Arab itu. Bagaimana
mungkin aku akan bahagia nantinya, jika aku
harus menikah dan hidup bersama dengan wanita
yang sama sekali tidak aku cintai?
Aku tak berdaya menolak paksaan kedua orang
tuaku ,untuk segera menikah dengan Ikhma. Aku
juga tak punya kekuatan untuk terlepas dari
kuatnya cinta pada wanita pertama yang hadir di
hidupku. Lize, dialah wanita yang menorehkan
cinta teramat dalam di hatiku, yang menyesakan
dadaku dengan menghadirkan kenangan manis
yang selalu membuat aku rindu.
Wanita yang sering membuatku menangis karena
takut kehilangan cintanya. Bagaimana mungkin
aku bisa terlepas begitu saja untuk
meninggalkannya? Sementara hatiku telah
terkurung dalam penjara cintanya. Empat tahun
bukanlah waktu yang singkat untuk menyayangi
seseorang dalam kebersamaan, lantas
melepaskannya begitu saja. Tentunya bukan hal
yang mudah untuk kehilangan orang yang teramat
dicintai.
Rasa berdosa kepada pengantin wanita di
sebelahku, dan kepada wanita yang sedang
menungguku terus memburu ke dalam hatiku.
Kusebut nama yang salah dalam proses ijab kabul,
yang akhirnya diulang berkali-kali membuat
Ikhma nampak kecewa kepadaku.
Hatiku haru biru. Kesekian kalinya aku mendapat
bimbingan, akhirnya kata sah keluar dari saksi
kedua mempelai. Ikhma, dia resmi menjadi Istriku.
Setelah selesai shalat Isya berjamaah. Tak ada
malam pertama setelah kami menikah, aku
berdalih tak enak badan pada Ikhma. Padahal
malam pertama, adalah malam terindah yang
selalu dinantikan sepasang pengantin muda. Tapi
tidak bagiku, pedih dan sedih mengumpat di
dadaku. Ikma buatkan aku secangkir teh hangat
dan membujukku untuk makan, aku menolak.
Bahkan, aku tak meminum sedikit pun teh yang
disiapkannya untukku hingga dingin.
Malam-malam selanjutnya kulakukan tugasku
sebagai suami, meskipun saat melakukannya yang
kubayangkan hanya wajah Lize. Wajah itu selalu
membayang-bayangi di setiap hariku. Aku yang
sebenarnya periang dan penyayang. kini berubah
menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Di
rumah aku hanya bicara seperlunya, dan sekarang
aku menjadi seorang lelaki yang mudah marah,
walau aku tak pernah memukul wanita.
Sedikit saja Ikhma berbuat salah, aku selalu
memakinya, memarahinya dengan meledak-ledak
dan mengeluarkan kata-kata kasar. Kalaupun dia
tidak salah, aku selalu berusaha mencari-cari
kesalahannya.
Berulang kali kucoba ingin menceraikannya, selalu
tak ada kekuatan untuk melakukannya. Tak ada
dukungan dari siapapun, selain hatiku sendiri
yang menentang. Pastinya orang tua dan
keluargaku akan marah, karena mereka
menganggap Ikhma wanita terbaik untuk hidupku
dan masa depanku.
Meskipun Ikhma sering mendapatkan perlakuan
yang tak enak dariku, ia selau sabar menghadapi
tingkahku, walau ia tak mendapatkan hak nya
sebagai seorang istri.
Setiap kali aku menghubungi Lize via telpon hatiku
terasa sangat sakit, karena banyak kebohongan-
kebohongan tercipta setelah aku menikah. Aku,
yang sebenarnya telah bekerja di perusahaan
besar di Banjarmasin dengan jabatan yang cukup
tinggi, mengaku belum mendapatkan pekerjaan
tetap. Sehingga, aku belum bisa menemui Lize ke
Palangka untuk memenuhi janjiku yang tertunda,
yaitu menikahinya.
Ikhma, sebenarnya ia wanita yang baik dan cantik,
tapi hatiku tak pernah tergerak untuk
mengakuinya sebagai istri. Sebelum berangkat ke
kantor, Ikhma selalu menyiapkan segala
keperluanku. Mulai dari menyiapkan makan,
sampai memakaikan sepatu dan jasku. Terkadang,
ia juga menyelesaikan tugas-tugas kantor yang
belum sempat kuselesaikan.
Sebelum berangkat kerja ia selalu mencium
tanganku dengan lembut, tapi aku tak pernah
mengecup keningnya. Aku tahu, ia sangat
mengharapkan kelembutan hatiku, merindukan
sentuhan hangat juga merindukan kecupan kasih
sayang dariku. Layaknya wanita lain yang
mendapatkan kemesraan dari setiap pasangannya.
Sewaktu makan siang pun, ia selalu mengantarkan
rantang makanan nasi rawon kesukaanku, walau
tak pernah kusentuh masakan itu. Saat pulang
kerja, aku tak pernah tersenyum menemui istriku
yang membukakan pintu dengan dandanan yang
cantik, bahkan sudah menyiapkan air hangat
untuk mandi sore beserta baju gantiku.
Pahitnya, hatiku tak pernah tersentuh. Yang
kutahu, apa yang ia lakukan untukku selalu salah
di mataku. Aku, tak bisa membedakan mana yang
hitam dan putih lagi., yang kutahu, ia selalu salah
dan salah. Walau pun ia benar, di mataku ia tetap
salah.
Lize. Aku pun tak punya pilihan lain. Dia,
mengancam akan meninggalkanku, bila tidak
segera menikahinya.
Tak ada wanita yang ingin dimadu, tapi tak ada
juga lelaki yang ingin hidup satu atap dengan
wanita yang tak pernah dicintai. Setiap kali aku
memaksa diri untuk belajar menerima Ikhma
dalam hidupku, namun apalah daya cinta itu tak
pernah terasa ada.
Terluka dan terluka, itulah rasa yang telah tertoreh
di dalam hatiku. Hanya sakit yang mengganjal
didadaku, saat cinta bicara dengan orang yang
salah bukan dari pilihan hati. Akhirnya aku harus
berbohong pada Ikhma, akan ada tugas keluar kota
untuk dua bulan ke depan untuk rencana
pernikahan keduaku.
”Kuputuskan untuk menikahi Lize dengan cara
Islam, walau pun aku telah melanggar hukum dan
syariat Islam di dalamnya. Aku juga mengetahui
larangan Allah dalam Firman-Nya: ..
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik hingga mereka beriman (masuk islam).
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walau pun ia menarik
hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan wanita orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik
meskipun ia menarik hatimu (Qs : Albaqarah :221).
Benar kata pepatah, sepandai-pandainya tupai
melompat akan terjatuh juga.
Dua bulan berlalu, aku kembali ke Banjarmasin
bukan karena Ikhma, tapi karena tanggung jawab
pekerjaanku. Setelah empat bulan kepulanganku
dari Palangka, Lize datang ke rumahku dan
bertemu dengan keluarga serta istriku. Ia datang
sebagai istri keduaku yang tidak hanya sendiri,
tapi dengan jabang bayi yang ada di rahimnya
hasil buah cinta kami.
Lize sempat pingsan dua kali saat aku mengakui
kebohonganku, bahwa Ikhma adalah istri
pertamaku. Aku membopongnya tubuhnya yang
tak sadarkan diri ke kamar. Saat aku dihakimi oleh
keluargaku dan istri keduaku, kulihat Ikhma lah
yang paling tegar.
Tak ada setitik air mata mengalir di wajah
sendunya, malahan ia sibuk menenangkan ibuku
yang tak henti menangis dan memakiku. Padahal
aku tahu, pasti dia lah orang yang paling terluka
hatinya kala itu.
“Ay, bangun ay … ” Aku menyodorkan segelas air
putih dan meminumi Lize yang mulai sadar.
Kugenggam erat tangan Lize sambil memeluk erat
tubuhnya. Aku tahu, Lize akan marah besar
padaku saat ia tersadar nanti, karena aku
membohonginya selama ini. Aku sama sekali tidak
mempedulikan Ikhma, yang memanadangiku di
balik pintu kamar dengan air mata yang
menggenang di sudut matanya dari wajahnya
nampak kelam dan suram.
Setelah Lize sadar, ia menangis menghambur ke
pelukanku sekaligus memukul-mukul dadaku.
Dalam pelukanku, kutenangkan ia agar berhenti
menangis. Kusuapi ia, agar mau makan. Kubujuk
Lize, untuk bisa memaafkanku. Kuceritakan semua
yang terjadi dengan sebenar-benarnya, bahwa
pernikahanku dengan Ikhma bukanlah
keinginanku.
Lize, ia menerima kenyataan itu pastinya juga
dengan hati yang sangat terluka. Malam itu, aku
tidur dengan Lize. Sementara, aku tidak tahu
Ikhma tidur di kamar mana. Yang kutahu, ia tidak
mau kukembalikan pada orang tuannya.
Hidup satu atap dengan dua wanita bukanlah hal
yang mudah, apalagi ada orang tuaku yang selalu
menyertai di dalamnya. Kesukaran demi
kesukaran terjadi. Orang tuaku yang menentang
cintaku, terutama ibu, yang selalu menyalahkan
Lize sebagai perebut suami orang. Dan konyolnya,
ibu percaya kalau aku telah terkena guna-guna
(ilmu hitam) dari Lize, gadis keturunan Suku
Dayak asli sehingga aku tak pernah bisa
melepaskannya.
Lize, ia diperlakukan orangtuaku dengan tidak
adil. Seperti apa yang kulakukan kepada Ikhma,
begitu juga yang dilakukan orangtuaku pada Lize.
Aku mengancam Ibu akan keluar dari rumah, jika
tidak menghormati Lize sebagai istriku. Tentunya
Ibu tidak akan rela jika aku meninggalkannya,
karena aku anak satu-satunya.
Tetapi, ibu juga membuat hatiku risau. Ibu
mengancamku tak akan memaafkanku, jika aku
tidak membagi cintaku dengan adil kepada dua
istri yang keduanya masih sah sebagai istriku.
Terutama istri pertamaku, yang selama ini kusia-
siakan. Ini hal yang tersulit yang harus kuhadapi.
Tak ada wanita yang ingin digilir cintanya, apalagi
dengan keadaan Lize yang sedang hamil muda.
Malam keempat, saat aku seranjang dengan Ikhma,
aku tak dapat tidur. Bayanganku ada pada Lize
yang berbaring di kamar sebelah. Mungkin ia
sedang menangis atau kedinginan, karena tak ada
aku di sampingnya menyelimuti tubuhnya,
membelai rambutnya dan mencium keningnya
sebelum tidur, hal yang tak pernah kulakukan
pada Ikhma.
Aku juga tidak tahu wanita mana yang paling
terluka hatinya. Di antara dua wanita ini hanya
satu cinta yang kupunya, tentunya untuk Lize.
Entah kapankah, aku akan bisa menjadi suami
yang adil.
“A, aku rela kau madu dan membagi cintaku , asal
jangan kau ceraikan aku …”
Ikhma memohon di hadapanku dengan airmata
yang tak dibuat-buat. Aku hanya tertegun
mendengar kata-kata itu, rasanya hatiku hampa
sekali. Tak ada jawaban dariku, karena aku
memang tak ingin menjawabnya. Dan untuk
kesekian kalinya, kutorehkan luka di dadanya
dengan caraku yang tak pernah lembut
memperlakukannya.
Bahkan, aku lebih sering tidur dengan Lize dari
pada dengan Ikhma, jika tak ada orang tuaku di
rumah.
Pada malam selanjutnya yang dulunya tak pernah
kukehendaki terjadi juga. Karena saat itu orang
tuaku ada di rumah, aku pun haus bersikap lembut
kepada Ikhma. Harusnya aku hanya tidur dengan
Ikhma malam itu, tapi karena Lize mengatakan ia
sedang tak enak badan, ia pun meminta untuk
tidur bertiga di dalam kamar Ikhma, aku pun tak
dapat menolak.
Kulihat Ikhma memalingkan tubuhnya, setelah aku
mengecup kening Lize di hadapannya. Aku baru
bisa tertidur, setelah Lize ada di sebelah kiriku
sambil menenangkanku. Seperti biasa, setiap lewat
dari jam satu malam menuju dini hari, Ikhma
shalat tahajud.
Entah do’a apa yang ia minta pada Allah, sampai
air matanya menetes di pipi. Kudengar samar-
samar, ia inginkan agar aku bisa mencintainya
dan memberi kasih yang sama, seperti orang
ketiga yang hadir dalam cinta kami. \
Wanita yang telah kusakiti untuk kesekian kali,
malam itu bagai terlahir seperti bidadari surga,
walau aku mulai tak mengerti dengan perasaanku.
Entah dari mana datangnya, hatiku mulai
tersentuh dengan cintanya. Malam itu, aku
menggaulinya dengan sepenuh hatiku. Kupandangi
wajahnya yang teramat cantik malam itu dengan
rasa kasih yang luar biasa.
“Mamah … kau terlihat sangat cantik malam ini
sepertinya … aku … telah … jatuh hati … padamu
…”
“Katakah sekali lagi A … aku ingin
mendengarnya..”
“Mamah, Kau … terlihat … sangat … cantik …
malam ini … dan sepertinya … aku …”
Tak dapat kuteruskan kata-kata itu, mungkin
karena hatiku agak sedikit tabu untuk
mengakuinya. Ikhma menangis bahagia karena
terharu, walau aku tak dapat meneruskan kata-
kata selanjutnya.
Dan aku tahu, ia sangat ingin mendengar aku
melanjutkan kata-kata itu, tapi aku tak bisa.
Lidahku terasa kelu, urat leherku terasa kaku, tapi
kata-kata itu memang tulus dari hatiku, walau pun
sebelumnya aku tak dapat tidur karena terus
memikirkan wanita keduaku.
Lize, ia tahu aku tidak hanya sekedar tidur dengan
Ikhma, membuatnya sangat cemburu. Seakan, ia
tak dapat menerima dan tak sanggup lagi hidup
denganku.
Pagi tiba. Lize, memasukan baju-bajunya ke dalam
koper. Aku merasa terpukul sekali. Aku
membujuknya untuk tetap bersamaku sambil
meminta maaf, aku juga menjelaskan padanya, apa
yang telah aku lakukan tadi malam hanyalah
sebuah kekhilafan yang terjadi di luar kendaliku.
Aku makin jadi serba salah, Ikhma menangis
mendengar kata-kataku, bahwa tadi malam yang
kami lakukan hanyalah suatu “kekhilafan.” Dan
baru kali ini, aku juga peduli pada Ikhma.
Aliran darahku seakan berhenti, saat Lize meminta
aku menceraikannya dan ia akan menggugurkan
anakku yang ada di dalam kandunganya. Ia
merasa sudah tak tahan hidup denganku, dengan
cinta yang tak adil untuknya. Ikhma menuntun
Lize masuk ke dalam rumah, untuk bicara baik-
baik bertiga.
Karena hari itu hari Minggu, hanya ada kami
bertiga di rumah. Aku sedang libur kerja,
sementara orang tuaku telah berangkat ke luar
kota setelah shalat subuh.
” Lize, jangan kau tinggalkan Mas Rifky, karena ia
tak bisa hidup tanpamu …,”
“Mungkin kau bisa tegar menghadapi semua ini,
tapi aku tidak ! Kau, telah merebut ia dariku. Aku
sangat benci padamu ,Ikhma. Juga padamu, Rifky.
Mengapa harus ada anak ini di rahimku,
sementara kau sakiti aku dengan cintamu”
Lize menangis dengan emosi yang membara …
“Aku, tidak pernah merebut Mas Rifky darimu.
Aku, menikah dengan mas Rifky karena
perjodohan yang tak pernah ku tentang. Jika
kutahu dia milikmu, pastinya aku tak akan
menerima perjodohan itu.
Ia lelaki pertama di hidupku, yang membuatku
terikat dalam tali perkawinan. Ku pikir, dengan
adanya ikatan pernikahan akan ada kehidupan
cinta di dalamnya, tapi sampai kini aku tak pernah
menemui semua itu”
Mata Ikhma berkaca-kaca walau kelihatan nampak
tegar.
“Mengapa kau tidak minta cerai darinya Ikhma,
bukankah kau tak pernah bahagia selama hidup
dengannya? kau, adalah racun yang mematikan
dalam cinta kami”
“Demi Allah Lize, perceraian adalah sesuatu yang
dibenci Allah walau diperbolehkan. Mas Rifky,
adalah jodoh yang diberikan Allah yang ternyata
bukan hanya untukku, tapi juga untukmu.
Untuk kujaga dan kuhormati pangkatnya dalam
istana hatiku, yang selalu aku terima setiap
perlakuan apa pun darinya dengan Ikhlas. Aku
belajar mencintainya, seperti Tuhan mencintaiku.
Aku tak pernah merasa tersakiti dalam keadaan
apa pun, selama aku bersamanya.
Mungkin, aku yang belum beruntung dalam
menjalani kehidupan cintaku. Kau beruntung,
telah mendapatkan cinta yang besar darinya dan
mendapatkan keturunan darinya. Aku turut
bahagia dengan semua itu”
“Mengapa kau bisa setegar ini Ikhma, maafkan aku
baru ku sadari, aku lah yang menjadi duri dalam
daging untuk kehidupan cintamu, aku akan pergi
dari kehidupan kalian ..”
“Tidak Lize, kau akan tetap di sini, bersama aku
dan Mas Rifky. Iya kan, Mas?”
Aku hanya mengangguk, tak percaya ada wanita
setegar Ikhma di dunia ini. Mungkin, ia adalah
bidadari yang benar adanya, dan hatinya serupa
dengan malaikat yang tak bersayap?
Sembilan bulan berlalu. Saat jam bekerja Ikhma
menelponku mengabarkan kado bahagia, yang
membuat hatiku bersuka cita. Akhirnya, Lize
melahirkan sorang putri yang cantik jelita, itu
artinya aku telah menjadi seorang ayah.
Kupandangi wajah istriku yang masih lemas di
dalam kamar bersalin. Segera aku datangi Lize dan
mencium keningnya. Aku meminta Ikhma dan
Lize, tetap menjadi istri yang rukun dan ibu yang
baik buat anak-anakku nantinya. Dan Ikhma pun,
dengan perasaan suka menyetujuinya. Lize juga
senang mendengar kabar kehamilan Ikhma, yang
ternyata sudah memasuki bulan kedua.
Saat perjalanan pulang ke rumah bersama keluarga
besarku. Kulihat senyuman itu manis sekali tengah
memangku putri kecilku. Wajah Ikhma terlihat
sangat cantik, dan tak bosan-bosan aku
memandangnya. Cinta kurasakan hari itu teramat
besar padanya, walau bukan terlambat untuk
mencintainya. Tetapi setidaknya, aku sempat
memberi cintaku padanya melebihi cinta yang
kurasakan pada Lize sebelumnya.
Lize, tersenyum ke arahku dengan tatapan
bahagia. Bahagia karena telah menjadi seorang ibu
dan bisa menerima kemelut cinta yang telah kami
hadapi bersama. Tapi, tak pernah ku sangka
senyuman itu menjadi detik terakhir untuk
kunikmati di hari bahagia dan keindahnya. Tuhan,
telah memberikan jalan lain untukku.
Ia mengambil semua keindahan cinta di saat aku
baru mengecap kisah kasih yang sempurna.
Sebuah mobil datang dari arah pertigaan kota, lalu
bertabrakan dengan mobil yang kukendarai.
Kecelakaan maut itu telah merenggut nyawa istriku
yang pertama.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia
mengucapakan dua kalimat syahadat dengan
fasihnya dan sempat berpesan padaku:
“A Rifky … Kau telah menjadi Ayah. Anak Lize,
adalah anakku juga. Jagalah anak kita dan
sahabatku, Lize. Jangan pernah kau sakiti hatinya,
dan cintailah ia dengan cinta yang seutuhnya. Aku
titip mereka padamu …”
“Iya, Mah …” Air mataku mengalir sambil
merangkul tubuhnya. Kupeluk dan kuciumi
wajahnya yang bersimbah darah di kepala.
“Jangan tinggalkan aku, Mah. Kau wanita yang
kuat … Kau akan bisa bertahan, Mah …” teriakku
dengan airmata yang membanjir.
Tuhan kiranya berkehandak lain. Jodoh,
kehidupan, dan kematian, Tuhan lah pemilik dan
pengaturnya. Sampai di penghujung nafasnya, ia
mengucapkan kalimat syahadat dengan begitu
fasihnya. Rohnya melayang pergi meninggalkan
jasadnya. Ikhma pun tiada.
Penyesalanku memang tak berguna, tapi
setidaknya aku sempat memberikan cinta yang
besar padanya kurang lebih satu tahun sebelum
kepergiannya, dengan cinta yang tak dapat
kutebus untuk seumur hidupku.
Karena setelah kepergiannya, aku tak pernah bisa
berhenti untuk mencintainya. Dia, memberiku
kehidupan sebagai jantung kedua di hidupku.
Mungkin jika saat itu orang tuaku tidak
menjodohkan aku dengan wanita setegar dia, aku
tak akan bisa bersama kembali dengan orang yang
juga sangat kucintai, Lize.
“Jika Lize adalah cinta pertamaku, maka Ikhma
telah menjadi cinta terakhirku ..
Jika Lize adalah cinta matiku, maka Ikhma lah
sebagai cinta yang hidup dalam jiwaku ..
Jika lize adalah cinta suciku, maka Ikhma adalah
cinta sejati di hidupku ..
Dan aku menunggu hari-hari indah itu kembali ..
Mengharapkan satu saat nanti …
Aku bertemu dengan anak dan istriku berkumpul
kembali, di surga yang abadi …”
Maafkan aku Ikhma … yang tak sempat
memberimu cinta, dari separu usiaku yang
tertinggal. Semoga, kau diterima di sisi-Nya dan
mendapatkan kebahagiaan abadi yang dikelilingi
malaikat-malaikat putih yang menghias tidur
panjangmu, dengan taman kehidupan wangi
surgawi yang tak pernah pudar.
Kusimpan cintamu dalam kasih yang abadi di
dalam kenanganku. Pertemuan yang kurindukan
itu akan ada, setelah aku menyusulmu.
Aku, menunggu jantung keduaku untuk bisa segera
bersamamu. Kita akan bertemu di sana bersama
anak-anak kita. Di sini, kami selalu berdo’a
kebaikan untukmu dan selalu merindukanmu.
Tidurlah yang damai, dan bersimpuhlah di
keharibaan Tuhan yang selalu kau bangakan
keagungan-Nya. Semoga, kau telah di tempatkan di
surga firdaus-Nya. Aamiin
EmoticonEmoticon